BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ciri umum tasawuf filosofis adalah
kesamar-samaran ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus
yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Selanjutnya ajaran tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat,
karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzawq), dan sebaliknya tidak
pula dikategorikan pada tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasa filsafat, dan berkecendrungan mendalam pada
panteisme.
1.2 Rumusan Masalah
Pra sufi yang juga filosof ini
sering mendapat kritikan dari kalangan
fuqaha, karena pendapat mereka tentang kesatuan wujud, teori quthb, kesatuan
agama, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya,yang menurut para fuqaha adalah
bertentangan dengan aqidah islam.
1.3 Tujuan
Dengan adanya makalah ini, pemakalah
berharap kita bisa mengetahui tentang
tasawuf filosofi dan menambah wawasan kita terhadap tasawuf.
WAHDAT AL-WUJUD DAN WAHDAT ASY-SYUHUD
2.1 Pengertian Wahdat al-Wujud
Wahdat al-wujud adalah merupakan
kesatuan wujud.Wahdat al-wujud telah menjadi istilah yang cukup dikenal dalam
bidang Tasawuf. Paham tersebut mmengacu kepada paham atau aliran yang dibangun
oleh seorang sufi di abad pertengahan yang lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,
tahun 560 H, yaitu Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi. Ajaran ini kemudian diteruskan
oleh Shadruddin al-Qunuwi (meninggal tahun 672 H), Abdul Karim ibn Ibrahim
al-Jilli (meninggal tahun 832 H), Fakhruddin al-‘Iraqi (meninggal tahun 696 H),
Awhaduddin al-Kirmani (meninggal tahun 697 atau 698), dan Abdurrahman al-Jami
(meninggal tahun 898 H), ‘Abdul Ghani al-Nablusi (meninggal tahun 1143 H), dan
‘Abdul Qadir AL-Jazairi (meninggal tahun 1883 H).
Menurut Ibnu A’rabi, wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam, tidak ada perbedaan
antara wujud yang qadim (khalik) dan wujud baru (makhluk).
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibnu
Arabi menyatakan dalam syairnya:
فَالْحَقُّ
خَلْقٌ بِهذا الوجه فاعتبروا #
و ليس خلقا بذاك الوجه فاذكروا
من يدر ما قلت لهم تخذل بصيرته #
و
ليس يدريه إلا من له بصر
جمع و فرق فإن العين واحد #
و هي الكثيرة لا تبقى و لا تذر
Pada satu
sisi al-Haq adalah makhluk, maka pikirlah.
Pada sisi
lain Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja
yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan kabur.
Tidak ada
yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan
pisahkan (bedakan), sebab a’in (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu
adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap), dan yang tidak pula buyar.
Dari keterangan diatas, terkesan
bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud
alam yang dalam istilah Barat disebut panteisme. Meskipun demikian, perlu
diingat bahwa apabila Ibnu Arabi menyebut ‘wujud’ maksudnya adalah wujud yang
mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satu wujud menurut Ibnu Arabi adalah wujud
Tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya.
Dalam bentuk lain, dapat dijelaskan
bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud
Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud
selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena
itu Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan
hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar ddirinya, yaitu wujud
Tuhan. Jadi sebenarnya yang diciptakan (makhluk dan alam) tidak mempunyai wujud
sebab yang mempunyai wujud (yaitu wujud mutlak) hanya Tuhan. Dengan demikian
wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan.
Menurut Ibnu ‘Arabi, ketika Allah
menciptakan ala mini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala
sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti benda yang tidak
bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin
itu. Dengan pernyataan lain ala mini merupakan mazhar (penampakan) dari asma
dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam sifat dan asmaNya itu akan
kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam
kemujarradan (kesendirian) Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam Fushuh al-Hikam, Ibnu ‘Arabi
menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya:
و
مالوجه إلا واحد غير آنه #
إذا
آنت آعددت المرايا تعددا
Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda
perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.[1]
Untuk memperkuat pendiriannya, Ibnu ‘Arabi merujuk sebuah
hadist Qudsi, yaitu:
كنت
كنزا مخفيا فآحببت آن اعرف فخلقت الخلق فبه عرفوني
Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka
mengenal Aku.
Mengenai hikmah penciptaan makhluk yang terkandung dalam
hadist qudsi tersebut, Ibnu ‘Arabi mengemukakan bahwa maksud Allah dalam
menciptakan makhluk-makhluk pada
umumnya, dan manusia pada khususnya adalah agar Dia bisa melihat dan mengetahui
diriNya sendiri dalam suatu bentuk yang dengan itu tampak jelas sifat-sifatNya
dan nama-namaNya. Dengan kata lain, Allah ingin melihat detail nama-namaNya
dalam cermin alam atau wujud eksternal. Mkak tampaklah dalam wujud apa yang
tampak dan selaras dengan keberadaanNya, yang dengan begitu Dia pun tersingkap
dari karunia tersembunyi, yaitu Dzat Mutlak yang bebas dari segala hubungan
maupun ikatan. tetapi karunia yang tersingkap dari Dzat Mutlak tersebut tidak
dalam kemutlakan dan kebebasan Dzat itu, melainkan dalam keterikatan dan
keterbatasannya.[2]
Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa wujud hal yang mungkin
adalah wujud Allah semata. Sementara beraneka dan jamaknya hal yang ada, tidak
lain hanyalah hasil indera-indera lahiriah
serta akal budi manusia yang terbatas, yang tidak mampu memahami
ketunggalan dzat segala sesuatu. Jelasnya, pada substansinya dan esensinya itu
hanya tunggal, yang menjadi jamak dalam sifat dan namanya tanpa bilangan
dengannya kecuali hanya karena wawasan, ikatan dan tambahan. Karena itu, jika
dipandang dari aspek esensinya, maka hal itu adalah Yang Maha Benar. Sementara
jika dipandang dari aspek sifat-sifatnya maka hal itu adalah makhluk.[3]
Dari konsep wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi ini, muncul lagi
dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat
al-wujud itu, yaitu:
1)
Konsep al-hakikat al-muhammadiyyah atau al-insan
al-kamil. Menurut Ibnu ‘Arabi manusia sempurna adalah alam seluruhnya, karena
Allah ingin melihat substansiNya dalam alam seluruhnya, yang meliputi seluruh
hal yang ada, yaitu karena hal ini bersifat wujud serta kepadanya itu Dia mengemukakan
rahasiaNya, maka kemunculan manusia sempurna menurut Ibnu ‘Arabi adalah esensi
kecemerlangan cermin alam. Ibnu ‘Arabi membedakan manusia sempurna menjadi dua,
yaitu: Pertama manusia sempurna dalam kedudukannyasebagai manusia baru. Kedua
manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu,
dalam deskripsi Ibnu ‘Arabi manusia sempurna adalah manusia baru yang abadi,
yang muncul, bertahan dan abadi.[4]
Bagi Ibnu ‘Arabi, tegaknya
alam justru oleh manusia sempurna dan alam ini akan tetap terpelihara selama
manusia sempurna masih ada. Manusia sempurna atau hakekat Muhammad, dengan kata
lain adalah sumber seluruh hukum, kenabian, seluruh wali atau individu-individu
manusia sempurna (yaitu para sufi yang wali).
2)
Konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama). Yaitu tentang
kesatuan agama-agama, sebab menurut Ibnu ‘Arabi , sumber agama-agama itu satu
yaitu hakekat Muhammad. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semuanya
itu kepunyaan Allah. Dan seorang yang benar-benar ‘arif adalah seorang yang
menyembah Allah dengan setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain adapat
dikatakan bahwa ibadah yang benar adalah hendaknya seorang hamba memandang
semua apapun sebagai termasuk ruang lingkup realitas Dzat yang Tunggal, yaitu
Allah. Sebagaimana yang dikemukakannya dalam liriknya berikut:
Dulu tidak kusenangi temanku
Jika agamanya lain dari agamaku
Kini kalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburuan kijang atau biara
pendeta
Kuil pemuja berhala atau ka’bah haji
berdatangan
Lauh Taurat atau mushaf al-Qur’an
Kupeluk agama cinta, kemanapun yang kutuju
Kendaraanku, cinta, ialah agamaku dan
imanku
2.2
Pengertian Wahdat Asy-Suhud
Wahdat asy-Syuhud yang secara
harfiah mengandung arti keesaan penyaksian adalah satu paham dalam tasawuf
tentang keesaan Tuhan sekaligus keesaan wujud yang tampak dalam penyaksian hati
nurani Wahdat asy-Syuhud merupakan salah satu konsep dalam tasawuf falsafi,
sebagaimana konsep ittihad-nya Abu Yazid al-Busthami, konsep hulul-nya
Al-Hallaj, atau juga wahdat al-wujud-nya Ibn ‘Arabi. Kajian tentang wahdat asy-Syuhud
oleh para ilmuwan menunjukkan bahwa konsep ini mirip dengan dan mendapat
pengaruh besar dari paham wahdat al-wujud, ajaran yang dicetuskan oleh Ibn
‘Arabi.
Konsep ini bermula dari rasa cinta Ibn al-Faridh yang sangat mendalam kepada Tuhan hingga mencapai syauq (rindu-dendam). Dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut :
Konsep ini bermula dari rasa cinta Ibn al-Faridh yang sangat mendalam kepada Tuhan hingga mencapai syauq (rindu-dendam). Dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut :
Pecinta itu syaratnya sampai
mabuk (gila) cinta, bila belum sampai seperti itu, cintanya belum benar-benar
(belum sempurna).
Jelasnya, mendalamnya cinta rindu
terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga
meningkat menjadi wahdat asy-Syuhud, yakni segala yang mereka pandang tampak
wajah Tuhan.
Syuhud adalah memahami segala perbuatan makhluk bersumber dari Allah SWT. Untuk mencapainya, harus melalui proses mengamalkan pemahaman tersebut, kendatipun pemahaman itu tumbuh secara bertahap sampai benar-benar yakin, Jika syuhud telah terpelihara di dalam hati, maka pada akhirnya akan merasakan pula lezatnya musyahadah.
Musyahadah itu penyaksian terhadap sesuatu dan dikembalikan kepada Allah. Penyaksian di sini, "melihat" secara jelas perbedaan antara lahir dan batin pada diri sesuatu, yang keduanya tidak bercampur dalam satu wujud, juga tidak berpisah dalam lain wujud. Jika telah mengalami musyahadah, maka proses selanjutnya mengantarkan seseorang pada maqam (tingkatan) Wihdatul Af'al.
Menurut paham wahdat asy-Syuhud,
keesaan Allah disaksikan oleh mata batin manusia yang mampu memfanakan dirinya
di dalam Tuhan atau sesudah lenyapnya (fana) hijab atau dinding yang membatasi
mata hati dengan Tuhan. Sebagai akibat dari penyaksian mata batin itu,
keyakinan tentang keesaan Allah meningkat ke tarap yang tertinggi atau dengan
kata lain lebih tinggi dari tarap keyakinan yang hanya berupa membenarkan
berita al-Qur’an dan Hadis yang diperkuat dengan argumentasi rasional.
Penyaksian keesaan Tuhan sekaligus berarti pengakuan satu-satunya wujud yang
hakiki hanya Allah yang disaksikan oleh mata batin seseorang yang memperoleh
kasyaf. Wujud semua alam empiris termasuk dirinya pada saat itu lenyap, baik
dari mata batin maupun dari mata hati.
Dalam kumpulan syairnya al-Diwan,
Ibn al-Faridh melukiskan proses fana secara jelas. Proses awal dari fana adalah
melihat Tuhan secara jelas dan pasti dalam setiap benda yang ia lihat. Bahkan
dalam setiap pandangannya ke arah mana saja, yang ia lihat hanya Tuhan.
Pengalaman yang demikian menyebabkan Ibn al-Faridh merasa satu dengan yang ia
cintai. Pada saat dia sadar dari fananya, yang tinggal dalam jiwa dan
penghayatan hanyalah sang kekasih, yakni Allah. Inilah yang ia maksud dengan
melalui fana ia mengalami kesatuan dengan Allah dan kemudian merasakan cinta
yang sejati. Kefanaan bukan keleburan wujud jasmaninya, tetapi kefanaan dari
kesadaran dan kemauan serta penanggapan indera keakuannya. Demikian juga dengan
penyatuan didalam Tuhan adalah searti dengan tersingkapnya tabir penghalang
sehingga Dzat Yang Mutlak hadir dalam mata hatinya. Situasi yang demikian
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin karena si penyair (Ibn al-Faridh) sedang
dalam kondisi spiritual yang mistis.
Kehadiran Tuhan dalam penyaksian batin seseorang telah menyebabkan lenyapnya kehadiran alam empiris dan dirinya sendiri yang dicontohkan seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang menyebabkan lenyapnya bintang-bintang dari mata kepala manusia. Perona keindahan wujud Tuhan sehingga dapat menyerap segenap perhatian hati orang yang menyaksikannya dengan kepalanya. Kendatipun tampak masih terbuka dan berhadapan dengan alam empiris menjadi tertutup oleh kehadiran wujud-Nya dalam penyaksian mata hatinya. Keberadaan alam empiris dan dirinya menjadi tersembunyi di balik kehadiran wujud Tuhan. Hanya wujud Tuhan saja dengan berbagai rahasia-Nya yang tampak oleh penyaksian mata batinnya. Bila kasyaf atau penyaksian atau telah berakhir alam empiris dan dirinya kembali tampak oleh mata kepalanya atau hadir dalam kesadarannya yang biasa.
Kehadiran Tuhan dalam penyaksian batin seseorang telah menyebabkan lenyapnya kehadiran alam empiris dan dirinya sendiri yang dicontohkan seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang menyebabkan lenyapnya bintang-bintang dari mata kepala manusia. Perona keindahan wujud Tuhan sehingga dapat menyerap segenap perhatian hati orang yang menyaksikannya dengan kepalanya. Kendatipun tampak masih terbuka dan berhadapan dengan alam empiris menjadi tertutup oleh kehadiran wujud-Nya dalam penyaksian mata hatinya. Keberadaan alam empiris dan dirinya menjadi tersembunyi di balik kehadiran wujud Tuhan. Hanya wujud Tuhan saja dengan berbagai rahasia-Nya yang tampak oleh penyaksian mata batinnya. Bila kasyaf atau penyaksian atau telah berakhir alam empiris dan dirinya kembali tampak oleh mata kepalanya atau hadir dalam kesadarannya yang biasa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian
secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki
atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran
bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang
Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah
bayangannya.
Wahdat asy-Syuhud merupakan salah
satu dari konsep-konsep yang ada dalam tasawuf falsafi. Konsepsi yang dibangun
atas dasar rasa cinta yang mendalam kepada Allah ini dicetuskan pertma kali
oleh Ibn al-Faridh. Berbeda dengan konsep wahdat al-wujud-nya Ibn ‘Arabi,
konsep wahdat asy-Syuhud berpendapat bahwa kesatuan bukanlah meleburnya manusia
dengan Tuhan secara jasmani, melainkan tersingkapnya rahasia wajah Tuhan
setelah fananya kesadaran dan kemauan manusia, serta fananya segala penglihatan
di sekitarnya, yang nampak hanyalah wajah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon. 2009. Ahklak
Tasawauf. Bandung:
Pustaka Setia.
Al-Taftazani Abu al-Wafa’ al-Ghanimi.
1997. Sufi Dari Zaman Ke Zaman. Bandung:
Pustaka.
Roy Muhammad. 2009. Tasawuf
Mazhab Cinta. Yogyakarta: Lingkaran
http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg00887.html
http://ladunni.blogspot.com/2010/04/wihdatus-syuhud.html
assalamualaikum pak, ini bahan tentang wahdatul syuhud dapat dari mana, bisa d post nggak buku referensinya.
BalasHapusthx
wassalam