Translate

Minggu, 29 April 2012

WAHDAT AL-WUJUD DAN WAHDAT ASY-SYUHUD


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
            Ciri umum tasawuf filosofis adalah kesamar-samaran ajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya ajaran tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzawq), dan sebaliknya tidak pula dikategorikan pada tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat, dan berkecendrungan mendalam pada panteisme.
1.2 Rumusan Masalah
            Pra sufi yang juga filosof ini sering mendapat  kritikan dari kalangan fuqaha, karena pendapat mereka tentang kesatuan wujud, teori quthb, kesatuan agama, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya,yang menurut para fuqaha adalah bertentangan dengan aqidah islam.
1.3 Tujuan
            Dengan adanya makalah ini, pemakalah  berharap kita bisa mengetahui tentang tasawuf filosofi dan menambah wawasan kita terhadap tasawuf.
         







WAHDAT AL-WUJUD DAN WAHDAT ASY-SYUHUD

2.1 Pengertian Wahdat al-Wujud
            Wahdat al-wujud adalah merupakan kesatuan wujud.Wahdat al-wujud telah menjadi istilah yang cukup dikenal dalam bidang Tasawuf. Paham tersebut mmengacu kepada paham atau aliran yang dibangun oleh seorang sufi di abad pertengahan yang lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, tahun 560 H, yaitu Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi. Ajaran ini kemudian diteruskan oleh Shadruddin al-Qunuwi (meninggal tahun 672 H), Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jilli (meninggal tahun 832 H), Fakhruddin al-‘Iraqi (meninggal tahun 696 H), Awhaduddin al-Kirmani (meninggal tahun 697 atau 698), dan Abdurrahman al-Jami (meninggal tahun 898 H), ‘Abdul Ghani al-Nablusi (meninggal tahun 1143 H), dan ‘Abdul Qadir AL-Jazairi (meninggal tahun 1883 H).
             Menurut Ibnu A’rabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam, tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khalik) dan wujud baru (makhluk).
            Sehubungan dengan hal tersebut, Ibnu Arabi menyatakan dalam syairnya:

فَالْحَقُّ خَلْقٌ بِهذا الوجه فاعتبروا #
                و ليس خلقا بذاك الوجه  فاذكروا    
        من يدر ما قلت لهم تخذل بصيرته #
و ليس يدريه إلا من له بصر
        جمع و فرق فإن العين واحد #
                و هي الكثيرة لا تبقى و لا تذر       

Pada satu sisi al-Haq adalah makhluk, maka pikirlah.
Pada sisi lain Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab a’in (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap), dan yang tidak pula buyar.
            Dari keterangan diatas, terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah Barat disebut panteisme. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa apabila Ibnu Arabi menyebut ‘wujud’ maksudnya adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satu wujud menurut Ibnu Arabi adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya.
            Dalam bentuk lain, dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar ddirinya, yaitu wujud Tuhan. Jadi sebenarnya yang diciptakan (makhluk dan alam) tidak mempunyai wujud sebab yang mempunyai wujud (yaitu wujud mutlak) hanya Tuhan. Dengan demikian wujud itu hanya satu, yakni wujud Tuhan.
            Menurut Ibnu ‘Arabi, ketika Allah menciptakan ala mini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain ala mini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam sifat dan asmaNya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam kemujarradan (kesendirian) Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
            Dalam Fushuh al-Hikam, Ibnu ‘Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya:

و مالوجه إلا واحد غير آنه #
                                   إذا آنت آعددت المرايا تعددا           

            Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.[1]
            Untuk memperkuat pendiriannya, Ibnu ‘Arabi merujuk sebuah hadist Qudsi, yaitu:

كنت كنزا مخفيا فآحببت آن اعرف فخلقت الخلق فبه عرفوني

            Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal Aku.
            Mengenai hikmah penciptaan makhluk yang terkandung dalam hadist qudsi tersebut, Ibnu ‘Arabi mengemukakan bahwa maksud Allah dalam menciptakan  makhluk-makhluk pada umumnya, dan manusia pada khususnya adalah agar Dia bisa melihat dan mengetahui diriNya sendiri dalam suatu bentuk yang dengan itu tampak jelas sifat-sifatNya dan nama-namaNya. Dengan kata lain, Allah ingin melihat detail nama-namaNya dalam cermin alam atau wujud eksternal. Mkak tampaklah dalam wujud apa yang tampak dan selaras dengan keberadaanNya, yang dengan begitu Dia pun tersingkap dari karunia tersembunyi, yaitu Dzat Mutlak yang bebas dari segala hubungan maupun ikatan. tetapi karunia yang tersingkap dari Dzat Mutlak tersebut tidak dalam kemutlakan dan kebebasan Dzat itu, melainkan dalam keterikatan dan keterbatasannya.[2]
            Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa wujud hal yang mungkin adalah wujud Allah semata. Sementara beraneka dan jamaknya hal yang ada, tidak lain hanyalah hasil indera-indera lahiriah  serta akal budi manusia yang terbatas, yang tidak mampu memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. Jelasnya, pada substansinya dan esensinya itu hanya tunggal, yang menjadi jamak dalam sifat dan namanya tanpa bilangan dengannya kecuali hanya karena wawasan, ikatan dan tambahan. Karena itu, jika dipandang dari aspek esensinya, maka hal itu adalah Yang Maha Benar. Sementara jika dipandang dari aspek sifat-sifatnya maka hal itu adalah makhluk.[3]
            Dari konsep wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi ini, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud itu, yaitu:
1)      Konsep al-hakikat al-muhammadiyyah atau al-insan al-kamil. Menurut Ibnu ‘Arabi manusia sempurna adalah alam seluruhnya, karena Allah ingin melihat substansiNya dalam alam seluruhnya, yang meliputi seluruh hal yang ada, yaitu karena hal ini bersifat wujud serta kepadanya itu Dia mengemukakan rahasiaNya, maka kemunculan manusia sempurna menurut Ibnu ‘Arabi adalah esensi kecemerlangan cermin alam. Ibnu ‘Arabi membedakan manusia sempurna menjadi dua, yaitu: Pertama manusia sempurna dalam kedudukannyasebagai manusia baru. Kedua manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu, dalam deskripsi Ibnu ‘Arabi manusia sempurna adalah manusia baru yang abadi, yang muncul, bertahan dan abadi.[4]
                  Bagi Ibnu ‘Arabi, tegaknya alam justru oleh manusia sempurna dan alam ini akan tetap terpelihara selama manusia sempurna masih ada. Manusia sempurna atau hakekat Muhammad, dengan kata lain adalah sumber seluruh hukum, kenabian, seluruh wali atau individu-individu manusia sempurna (yaitu para sufi yang wali).
2)      Konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama). Yaitu tentang kesatuan agama-agama, sebab menurut Ibnu ‘Arabi , sumber agama-agama itu satu yaitu hakekat Muhammad. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semuanya itu kepunyaan Allah. Dan seorang yang benar-benar ‘arif adalah seorang yang menyembah Allah dengan setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain adapat dikatakan bahwa ibadah yang benar adalah hendaknya seorang hamba memandang semua apapun sebagai termasuk ruang lingkup realitas Dzat yang Tunggal, yaitu Allah. Sebagaimana yang dikemukakannya dalam liriknya berikut:
      Dulu tidak kusenangi temanku
      Jika agamanya lain dari agamaku
      Kini kalbuku bisa menampung semua
      Ilalang perburuan kijang atau biara pendeta
      Kuil pemuja berhala atau ka’bah haji berdatangan
      Lauh Taurat atau mushaf al-Qur’an
      Kupeluk agama cinta, kemanapun yang kutuju
      Kendaraanku, cinta, ialah agamaku dan imanku

2.2 Pengertian Wahdat Asy-Suhud

          Wahdat asy-Syuhud yang secara harfiah mengandung arti keesaan penyaksian adalah satu paham dalam tasawuf tentang keesaan Tuhan sekaligus keesaan wujud yang tampak dalam penyaksian hati nurani Wahdat asy-Syuhud merupakan salah satu konsep dalam tasawuf falsafi, sebagaimana konsep ittihad-nya Abu Yazid al-Busthami, konsep hulul-nya Al-Hallaj, atau juga wahdat al-wujud-nya Ibn ‘Arabi. Kajian tentang wahdat asy-Syuhud oleh para ilmuwan menunjukkan bahwa konsep ini mirip dengan dan mendapat pengaruh besar dari paham wahdat al-wujud, ajaran yang dicetuskan oleh Ibn ‘Arabi.
            Konsep ini bermula dari rasa cinta Ibn al-Faridh yang sangat mendalam kepada Tuhan hingga mencapai syauq (rindu-dendam). Dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut :
            Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum sampai seperti itu, cintanya belum benar-benar (belum sempurna).
            Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat asy-Syuhud, yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan.
        Syuhud adalah memahami segala perbuatan makhluk bersumber dari Allah SWT. Untuk mencapainya, harus melalui proses mengamalkan pemahaman tersebut, kendatipun pemahaman itu tumbuh secara bertahap sampai benar-benar yakin, Jika syuhud telah terpelihara di dalam hati, maka pada akhirnya akan merasakan pula lezatnya musyahadah.
         Musyahadah itu penyaksian terhadap sesuatu dan dikembalikan kepada Allah. Penyaksian di sini, "melihat" secara jelas perbedaan antara lahir dan batin pada diri sesuatu, yang keduanya tidak bercampur dalam satu wujud, juga tidak berpisah dalam lain wujud. Jika telah mengalami musyahadah, maka proses selanjutnya mengantarkan seseorang pada maqam (tingkatan) Wihdatul Af'al.
            Menurut paham wahdat asy-Syuhud, keesaan Allah disaksikan oleh mata batin manusia yang mampu memfanakan dirinya di dalam Tuhan atau sesudah lenyapnya (fana) hijab atau dinding yang membatasi mata hati dengan Tuhan. Sebagai akibat dari penyaksian mata batin itu, keyakinan tentang keesaan Allah meningkat ke tarap yang tertinggi atau dengan kata lain lebih tinggi dari tarap keyakinan yang hanya berupa membenarkan berita al-Qur’an dan Hadis yang diperkuat dengan argumentasi rasional. Penyaksian keesaan Tuhan sekaligus berarti pengakuan satu-satunya wujud yang hakiki hanya Allah yang disaksikan oleh mata batin seseorang yang memperoleh kasyaf. Wujud semua alam empiris termasuk dirinya pada saat itu lenyap, baik dari mata batin maupun dari mata hati.
            Dalam kumpulan syairnya al-Diwan, Ibn al-Faridh melukiskan proses fana secara jelas. Proses awal dari fana adalah melihat Tuhan secara jelas dan pasti dalam setiap benda yang ia lihat. Bahkan dalam setiap pandangannya ke arah mana saja, yang ia lihat hanya Tuhan. Pengalaman yang demikian menyebabkan Ibn al-Faridh merasa satu dengan yang ia cintai. Pada saat dia sadar dari fananya, yang tinggal dalam jiwa dan penghayatan hanyalah sang kekasih, yakni Allah. Inilah yang ia maksud dengan melalui fana ia mengalami kesatuan dengan Allah dan kemudian merasakan cinta yang sejati. Kefanaan bukan keleburan wujud jasmaninya, tetapi kefanaan dari kesadaran dan kemauan serta penanggapan indera keakuannya. Demikian juga dengan penyatuan didalam Tuhan adalah searti dengan tersingkapnya tabir penghalang sehingga Dzat Yang Mutlak hadir dalam mata hatinya. Situasi yang demikian bukanlah sesuatu yang tidak mungkin karena si penyair (Ibn al-Faridh) sedang dalam kondisi spiritual yang mistis.
            Kehadiran Tuhan dalam penyaksian batin seseorang telah menyebabkan lenyapnya kehadiran alam empiris dan dirinya sendiri yang dicontohkan seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang menyebabkan lenyapnya bintang-bintang dari mata kepala manusia. Perona keindahan wujud Tuhan sehingga dapat menyerap segenap perhatian hati orang yang menyaksikannya dengan kepalanya. Kendatipun tampak masih terbuka dan berhadapan dengan alam empiris menjadi tertutup oleh kehadiran wujud-Nya dalam penyaksian mata hatinya. Keberadaan alam empiris dan dirinya menjadi tersembunyi di balik kehadiran wujud Tuhan. Hanya wujud Tuhan saja dengan berbagai rahasia-Nya yang tampak oleh penyaksian mata batinnya. Bila kasyaf atau penyaksian atau telah berakhir alam empiris dan dirinya kembali tampak oleh mata kepalanya atau hadir dalam kesadarannya yang biasa.





















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.
            Wahdat asy-Syuhud merupakan salah satu dari konsep-konsep yang ada dalam tasawuf falsafi. Konsepsi yang dibangun atas dasar rasa cinta yang mendalam kepada Allah ini dicetuskan pertma kali oleh Ibn al-Faridh. Berbeda dengan konsep wahdat al-wujud-nya Ibn ‘Arabi, konsep wahdat asy-Syuhud berpendapat bahwa kesatuan bukanlah meleburnya manusia dengan Tuhan secara jasmani, melainkan tersingkapnya rahasia wajah Tuhan setelah fananya kesadaran dan kemauan manusia, serta fananya segala penglihatan di sekitarnya, yang nampak hanyalah wajah Tuhan.
















DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon. 2009. Ahklak Tasawauf. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Taftazani Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi Dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Pustaka.
Roy Muhammad. 2009. Tasawuf Mazhab Cinta. Yogyakarta: Lingkaran
http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg00887.html
http://ladunni.blogspot.com/2010/04/wihdatus-syuhud.html






[1] Ibnu ‘Arabi. Fushush…. hlm. 70.
[2] Ibid; hal. 48, passim.
[3] Ibid; hal. 24.
[4] Ibid; hal. 50.

1 komentar:

  1. assalamualaikum pak, ini bahan tentang wahdatul syuhud dapat dari mana, bisa d post nggak buku referensinya.
    thx
    wassalam

    BalasHapus