BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
surat al-Baqarah ayat 30, Allah menyampaikan keputusan-Nya kepada para malaikat
tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada para
malaikat penting, karena merekalah akan dibebani sekian tugas yang menyangkut manusia,
seperti memelihara, membimbing, dan lain sebagainya. Penyampainnya itu juga
kelak akan diketahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas
anugerah yang tersimpul dalam dialog antara Allah dn para malaikat.
Allah
berfirman yang artinya “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.
Penyampaian ayat ini bias jadi setelah proses penciptaan alam raya dan
kesiapannya untuk di huni manusia pertama (Adam) dengan nyaman.
Dengan
adanya makalh ini, diharapkan kepada kita yang membacanya, agar dapat
mengetahui kedudukan manusia di muka bumi ini, juga dapat memahami tugasnya dan
kewajibannya sebagai khalifah di bumi ini. Dengan demikian, kita dapat
mempelajari apa saja tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PROSES
KEJADIAN MANUSIA
Allah swt telah menciptakan manusia ke dunia melalui
proses alamiah yang sama (kecuali Nabi Adam a.s, Hawa dan Nabi Isa a.s). selain
ketiga hamba tersebut, proses penciptaan manusia sama, yakni dari tanah atau
sari pati tanah yang kemudian diserap oleh tumbuhan. Tumbuhan tersebut kemudian
dikonsumsi oleh hewan dan manusia, kemudian hewan tersebut dikonsumsi pula oleh
manusia. Apabila dikonsumsinya oleh pria, maka sebagian menjadi sperma.
Sedangkan apabila dikonsumsi oleh perempuan, maka sebagian menjadi sel telur.
ﻫﻮ ﺍﻠﺫﻱ ﺧﻠﻘﻛﻡ ﻣﻦ ﺗﺭﺍﺐ ﺛﻡّ ﻣﻦ ﻧﻄﻔﺔ ﺛﻡّ ﻣﻦ
ﻋﻟﻘﺔ ﺛﻡّ ﯾﺧﺭﺟﻛﻡ ﻃﻔﻼ ﺛﻡّ ﻠﺗﺑﻠﻐﻭﺍ ﺃﺷﺪّﻛﻡ ﺛﻡّ ﻠﺗﻛﻭﻨﻭﺍ ﺷﻳﻭﺧﺎ ﻭ ﻣﻨﻛﻡ ﻣﻥ ﻳﺗﻭﻓﻰ ﻣﻥ ﻗﺑﻞ
ﻭ ﻟﺗﺑﻟﻐﻭﺍ ﺃﺟﻼ ﻣﺳﻣّﻰ ﻭ ﻟﻌﻟﻜﻡ ﺗﻌﻗﻟﻭﻥ
Artinya
: Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani,
sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkan-Nya kamu sebagai seorang
anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup)supaya kamu sampai kepada masa (dewasa),
kemudian (dibiarkan kamu hidup) sampai tua. Di antara kamu ada yang diwafatkan
sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang
ditentukan dan supaya kamu memahaminya. (Q.S. Al-Mukmin : 67).
B.
HAKEKAT
MANUSIA
Menurut Sastraprateja[1]
(yang dikutip oleh Ramayulis dalam buku Ilmu Pendidikan Islam), mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakekat manusia sendiri adalah
sejarah, hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam
sejarah bangsa manusia.
Kalangan
pemikir di abad modern, juga membahas tentang hakekat manusia yang dapat
dijumpai. Alexis Carrel[2]
( dikutip oleh Ramayulis dalam buku Ilmu Pendidikan Islam), mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari
dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap
dunia yang ada di luar dirinya.
Ibn Arabi[3]
(dikutip oleh Ramayulis), melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa
tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya
hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan
memutuskan, dn inilah merupakan sifat-sifat rahbaniyah.
Murthada Mutahhari[4]
(dikutip oleh Ramayulis), melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai
berikut : AAl-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhuk pilihan tuhan, sebagai
khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi
yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui tuhan, bebas terpercaya, rasa
tanggung jawab tehadap terhadap dirinya maupun alam semesta, serta dikaruniai
keunggulan untuk menguasai alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai
kearah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai
dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang kemudian bergerak kearah kekuatan,
tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka
dekat dengan tuhan dn memngingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik
kemampuan dalam belajar, maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki
keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak
hal, tidak bersifat keberadaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa
memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada mereka namun pada
saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada tuhan.
Untuk mengetahui definisi hakekat manusia secara
utuh, di antaranya dapat dilihat pengertian manusia dari segi kata yang
digunakan :
1. Ditinjau
dari segi kata (istilah) yang digunakan
Al- Qur’an
memperkenalkan tiga kata yang bisa digunakan menunjuk pengertian manusia,
yaitu:
a. Al-insan,
terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa. Penggunaan kata al insan pada
umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat
khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. keistimewaan
tersebut Karena manusia memiliki potensi dasar, yaitu fitrah, akal dan kalbu.
Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi
dibanding makhluk-Nya yang lain.
b. Kata
al-Basyar, secara etimologi, al-basyar merupakan bentuk jamak dan
kata al-basyarat yang berarti kulit kepala,
wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-basyar memberikan pengertian bahwa
manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya
seperti makan, minum, perlu hiburan, seks, dan lain sebagainya. Kata al-basyar ditunjukkan kepada seluruh
manusia tanpa terkecuali nabi dan rasul. Firman Allah SWT yang artinya :
Katakanlah
: “sesungguhnya Aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu………” (QS.
18 : 10)
Penggunaan
kata al-basyar mempunyai makna bahwa
manusia secara umum mempunyai persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah
lainnya secara umum seperti seperti hewan dan tumbuhan .
c. Kata
al-nas, menunjukkan pada hakekatnya
manusia sebagai makhluk social. Dan ditujunjukkan kepada seluruh manusia secara
umum tanpa melihat statusnya apakah beriaman atau kafir. Selain itu, al-nas
juga dipakaikan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia
senantiasa berada dalam keadaan labil.
C.
KEDUDUKAN
MANUSIA
Kesatuan wujud manusia antara pisik dan psikis serta
didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan
al-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu :
1. Manusia
Sebagai Hamba Allah
Musya
Asy’arie[5]
(dikutip oleh Ramayulis) mengatakan bahwa esensi hamba adalah ketaan,ketundukan
dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada tuhan. Ketundukan
dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya.
Manusia adalah makhluk
yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Allah SWT
berfirman :
Artinya
: “maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah
yang tela menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS. 30 :30).
Manusia
diciptakan Allah tidak lain kecuali agar menyembah kepada-Nya. Selama hidup di
dunia manusia wajib beribadah dan menghambakan diri kepada Allah yang disebut
ibadah mahdlah, dan manusia juga wajib berhubugan dengan sesaman makhluk yang
disebut ibadah ghairu mahdlah.
Islam
telah memberi petunjuk kepada manusia tentang tatacara beribadah kepada Allah.
Apa-apa yang dilakukan manusia sejak bangun tidur sampai akan tidur harus
disesuaikan dengan ajaran islam.
ﻭ
ﻤﺎ ﺧﻟﻗﺕ ﺍﻟﺟﻦﱠ ﻭ ﺍﻹﻧﺱ ﺍﻻﱠ ﻟﻳﻌﺑﺪﻭﻦ
Artinya : “dan Aku
tidak menciptakana jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.
Adz-Zaariyaat : 56).
Dengan
memahami surat adz-zariyat, hendaknya manusia dapat mengambil pelajaran bahwa[6]
:
·
Menyadari bahwa
hidup di dunia bukanlah tujuan, melainkan sebagai kesempatan beramal baik untuk
menuju hidup bahagia di akhirat kelak.
·
Kesempatan hidup
hendaknya dimanfaatkan untuk menghambakan diri kepada-Nya dalam seluruh aspek
hidupny.
·
Kenikmatan
berupa kesenangan hidup di dunia jangan sampai melupakan tugas pokok hidup,
yakni menghambakan diri kepada Allah semata.
Pengakuan manusia akan adanya tuhan secara naluriah
menurut informasi al-Qur’an disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan
roh manusia tat kala ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan (ingatlah) Ketika tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian mereka terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini
tuhanmu?”, mereka anak-anak Adam menjawab : ”Betul (Engkau tuhan kami) kami
menjadi saksi….. (QS. 7 : 172).
Dengan demikian, kepercayaan dan ketergantungan manusia
dengan tuhannya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai realisasi kepatuhan
kepada tuhannya pada mulanya mereka lakukan sesuai dengan keterbatasan akalnya.
Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan. Untuk itu Allah memperkenalkan
manusia tentang dirinya melalui wahyu-Nya. Sehingga manusia dapat melaksanakan
pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah. Allah juga mengutus para
Rasul-Ny sebagai pemberi petunjuk kepada manusia mana yang harus mereka sembah
sebenarnya. Lewat instingtif pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya, akal,
bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul,
manusia diharapkan mampu mengenal
khaliqnya lewat pengabdian yang ditunjukkannya dalam kehidupan.
D.
MANUSIA
SEBAGAI KHALIFAH ALLAH
Pada mulanya, kata “khalifah” berarti ‘yang
menggantikan’ atau ‘yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya[7].
“khalifah” berasal dari fi’il madhi
‘khalafa’ yang berarti “mengganti dan melanjutkan”, yaitu proses penggantian
antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab[8],
istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik
hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam hal ini nabi Adan as, dan tidak
digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan
khala’if yang di dalamnya mengetahui
arti yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa politik, tetapi juga
sebagai penguasa dalm berbagai bdang kehidupan.
Allah menciptakan alam semesta tidak sia-sia,
penciptaan manusia bertujuan jelas yaitu dijadikan sebagai khalifah atau
penguasa (pengatur bumi) untuk memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan
petunjuknya. Firman Allah SWT :
ﻭ ﺇﺫ ﻗﺎﻝ ﺭﺑﱡﻙ ﻟﻟﻣﻼﺋﻛﺔ ﺇﻧﱢﻰ ﺟﺎﻋﻞ ﻓﻰ
ﺍﻷﺭﺽ ﺧﻠﻳﻔﺔۙ ﻗﺎﻟﻭﺍ ﺍﺗﺟﻌﻝ ﻓﻳﻬﺎ ﻣﻥ ﻳﻓﺳﺪ ﻓﻳﻬﺎ ﻭ ﻳﺳﻓﻚ ﺍﻟﺩﻣﺎﺀ ﻭ ﻧﺣﻥ ﻧﺳﺑﱢﺢ ﺑﺣﻣﺪﻚ ﻭ
ﻧﻗﺪﱢﺲ ﻟﻚ ﻗﺎﻞ ﺇﻧﱢﻰ ﺃﻋﻠﻡ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻣﻭﻥ.
Artinya
: “ Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat : “sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “ mengapa
Engkau hendak menciptakan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman : “sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 30).
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah manusia
harus selalu berpedoman kepada petunjuk yang telah diberikan Allah. Dengan
memahami ayat surat al-Baqarah ayat 30, hendaknya manusia berperilaku yang
mencerminkan[9] :
ü Kesadaran
akan tugas hidupnya sebagai pengatur bumi.
ü Perbuatan
yang baik kepada sesama manusia maupun terhadap makhluk yang lain.
ü Usaha
semaksimal mungkin untuk menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan
bagi siapapun.
ü Usaha
utuk mewujudkan islah atau perdamaian di bumi dan menghindari pertikaian yang
akan membawa kerusakan.
Untuk lebih menegaskan fungsi
kekhalifahan manusia di alam ini, dapat dilihat pada ayat-ayat di bawah ini
yang artinya :
Artinya : “dan Dialah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Di meninggikan sebagian kamu atas sebagian
(yang lain) beberapa derajat”. (QS. Al-An’am : 165).
Artinya : “Dialah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri”. (QS. Fathir : 39).
Artinya : “dan ingtlah oleh kamu
sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah lenyapnya Nuh, dan tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan
perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). (QS. Al- A’raf :69).
Menurut Quraish Shihab (yang dikutp oleh
Ramayulis), mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam, atau hubungan
manusia dengan manusia, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan
ditaklukan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam
ketundukkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, manusia dalam visi
kekhalifahannya, bukan saja sekedar menggantikan, namun dengan arti yang luas
ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) yang berupa akal, qalb, dan nafs.
Akan tetapi fitrah itu sendiri tidaklah berembang secara otomatis, melainkan
bagaimana manusia itu sendiri yang mengembangkan fitrahnya sendiri. Untuk itu,
Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada para nabi agar menjadi pedoman bagi
manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras dengan
tujuan penciptanya.
Dengan kedudukan dan fungsi, serta
kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya melebihi makhluk lain,
memiliki konsekuensi nilai moral yang religius, dan manusia harus
mempertanggungjawabkan semua aktivitas kehidupannya di hadapan sang khalik.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dan Ibnu Umar ra berkata : “aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda : “tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya……. (HR.
Mutafaq ‘Alaih).
Ahmad Hasan Firhat[10]
(yang dikutip oleh Ramayulis), membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada
dua bentuk, yaitu : pertama, khalifah kauniyah, yaitu wewenang manusia secra
umum yang dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta
beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi, label
kekhalifahan diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Kedua, khalifah syar’iat, yaitu wewenang
Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja
predikat khalifah ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal
ini dimaksudkan agar dengan keimann yang dimilikinya mampu menjadi pilar dan
kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta sesuai dengan nilai-nilai
Ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manusia yang diciptakan Allah di muka bumi ini
sebagai khalifah yang harus bisa bertanggung jawab terhadap tugasnya, karena
manusia sejak lahir sudah mempunyai potensi-potensi (fitrah), maka dari itu,
manusia harus dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya dengan
baik agar dapat di pertanggungjawabkan, karena manusia sebagai hamba Allah dan
sebagai khalifah di bumi. Maka berdasrkan QS. al-Baqarah ayat 30, hendaknya
manusia berperilaku yang mencerminkan :
ü Kesadaran
akan tugas hidupnya sebagai pengatur bumi.
ü Perbuatan
yang baik kepada sesama manusia maupun terhadap makhluk yang lain.
ü Usaha
semaksimal mungkin untuk menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan
bagi siapapun.
ü Usaha
utuk mewujudkan islah atau perdamaian di bumi dan menghindari pertikaian yang
akan membawa kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Aswan,
Yunan, Teladan Sempurna Pendidikan Agama
Islam 1 Kelas X SMA, Jakarta : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010.
Ramayulis,
Prof. Dr. H, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta : Kalam Mulia, 2008.
Purwanto,
Edi, Drs, dan Suyadi, Drs, Pendidikan
Agama Islam, Surakarta : Widya Duta, 2004
[2] Ibid., hlm. 2
[3]
Ibid
[4]
Ibid
[5] Edi Purwanto dan Suyadi, Pendidikan Agama Islam, (Surakarta :
Widya Duta, 2004), hlm. 2
[6] Ibid., hlm. 3
[7] Yunan aswan, Teladan Sempurna Pendidikan Agama Islam 1
Kelas X SMA, ( Jakarta : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010
[8] Ramayulis, Op.Cit., hlm. 9
[9] Edi purwanto dan Suyadi, Loc.Cit
[10] Ramayulis, Op.Cit., hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar