Translate

Senin, 03 Desember 2012

PUNYA SUHANDA: PELUANG BISNIS ONLINE LEGAL DAN MENGUNTUNGKAN

PUNYA SUHANDA: PELUANG BISNIS ONLINE LEGAL DAN MENGUNTUNGKAN: Kami mengundang siapapun anda disana untuk bergabung bersama kami dalam peluang bisnis online ODAP sudah banyak yang berhasil dan terb...

PELUANG BISNIS ONLINE LEGAL DAN MENGUNTUNGKAN


Kami mengundang siapapun anda disana untuk bergabung bersama kami dalam peluang bisnis online ODAP sudah banyak yang berhasil dan terbukti membayar membernya dengan tepat jangan sia-siakan kesempatan langka ini karena orang beruntung selalu melihat peluang. hanya masukan email anda maka berubahlah nasib anda saat ini sekarang juga langsung kunjungi :
http://www.penasaran.net/?ref=vxmyhq

Sabtu, 26 Mei 2012

RASIONALISME & EMPIRISME


BAB 1
PENDAHULUAN

Filsafat di zaman lahirnya ilmu-ilmu baru ini, terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme. Juga bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme khas untuk filsafat Descartes (1596-1650). Filsafat empirisme mencapai puncaknya pada era David Hume (1711-1776). Rasionalisme Descartes tertarik pada metode deduksi matematika. Batu ujian kebenaran adalah rasio (budi). Metode deduksi bersifat rasional, yaitu bertitik tolak dari axiomata, melangkah terus dan terlepas dari observasi inderawi, observasi inderawi sering membuat manusia keliru. Lain halnya dengan empirisme yang tertarik kepada metode observasi yang langsung terbuka bagi indra. Rasionalisme Descartes dan empirisme Hume mempengaruhi seluruh filsafat modern.[1]
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang      hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
1
Selanjutnya empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.[2]

BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Rasionalisme
Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad 17 sampai akhir abad 18. Istilah rasionalisme menandakan semangat zaman itu, akal budi manusia diutamakan. Pada abad pertengahan pikiran orang berpusat pada Allah, berdasarkan iman yang bagi mereka merupakan pedoman tertinggi untuk segala kebenaran. Hal ini berlaku juga bagi para pemikir, mereka juga bertolak dari gambaran yang teosentris tentang dunia dan hidup. Dalam zaman Renaissance sudah terdapat perubahan. Orang-orang yang berfikif makin mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai pencipta kebudayaan, khususnya melalui pengetahuan.
Hal yang khas bagi ilmu-ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata penggunaan akal budi secara demikian tidak sia-sia, melihat tambahan pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa dalam abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar makin percaya akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.[3]
Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui panca indra kita. Dengan demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita peroleh.
1.      Tokoh Rasionalisme
a.       Plato
Rasionalisme sesungguhnya telah muncul dalam pemikiran-pemikiran plato. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa yang disebut sebagai efisteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Oleh karena itu, apa yang kita tangkap melalui panca indra hanya merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Hanya ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Segala hal lain hanya tiruan dan karena itu tidak nyata dan tidak sempurna. Dengan kata lain, manusia mengenal dan mengetahui bayangan itu melalui ide abadi. Maka pengetahuan bagi plato, adalah hasil ingatan yang melekat pada manusia. Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah diketahui dalam ide abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia. Dengan demikian, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu, dan berarti untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita hanya mengandalkan akal budi yang sudah mengenal ide abadi.

b.      Rene Descartes
Descartes menganggap anjuran kaum skeptis supaya kita perlu meragukan semua keyakinan dan pengetahuan kita, bahkan kita perlu meragukan apa saja. Bagi Descartes, inilah metode filsafat yang paling tepat. Sasaran utama dari Descartes adalah bagaimana kita bisa sampai kepada pengetahuan yang pasti benar. Menurutnya, kita perlu meragukan segala sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat. Atas dasar ini, Descartes  beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui.
Sesungguhnya metode Descartes sangat sederhana. Menurutnya, kita harus meragukan segala sesuatu yang kita tangkap dengan panca indera kita sampai kita akhirnya tidak bisa lagi meragukan hal itu. Semua yang diragukan disingkirkan dan terus menerus begitu sampai kita mengetahui sesuatu secara pasti tanpa bisa diragukan. Itu adalah kebenaran atau pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, untuk bisa sampai kepada kebenaran kita perlu meragukan segala hal, termasuk pendapat dan pengalaman kita sendiri. Ini kita lakukan dengan mengandalkan akal budi dengan berpikir.[4]

B.     Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunani-nya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi.[5]
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan indrawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Aliran ini menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan.
Empirisme adalah merupakan paham yang mencoba memaparkan dan menjelaskan bahwa, sumber pengetahuan manusia itu adalah pengalaman. Paham ini dikemukakan oleh Francois Bacon ia adalah pelopor faham empirisme, dan beberapa pakar filsafat lainnya  diantaranya John Locke, David Home dan George Barkeley.[6]


1.      Tokoh empirisme
a.       John Locke (1632-1704)
Seorang filsuf Inggris yang dilahirkan didekat kota Prestol, Inggris, serta belajar  di Universitas Oxford, serta mendalami teologi dan filsafat, Pendiri empirisme Inggris salah seorang penganut empirisme, yang juga Bapak Empirisme mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, keadaan akalanya masih bersih ibarat kertas yang kosong yang belum bertuliskan apa pun (tabularasa). Pengetahuan baru muncul ketika indera manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagaian kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan bisa diketahui dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Akal semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia -betapa pun rumitnya- dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpanan rapi di dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh daya ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan akal, sehingga hasil pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat diaktualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.

b.      George Barkeley (1685-1753)
Pada era modern, muncul pula George Barkeley yang berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide dating dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu, idea tidak bersifat independen. Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia, karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya aktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata-mata, melainkan dalam konteks yang realistik.

c.       David Hume (1711-1776)
Dia ikut dalam berbagai pembahasan tersebut dan memengaruhi perkembangan dua aliran. Aliran yang dipengaruhinya adalah skeptisisme dan empirisme. Dalam hal skeptisisme, Hume mencurigai pemikiran filsafat dan di antara pemikirannya adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. Ia juga seorang agnostik, yakni orang yang berpendirian bahwa adanya Tuhan itu tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diingkari. Dalam hal empirisme, suatu pandangan yang mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Walaupun mungkin ada suatu dunia di luar kesedaran manusia, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Ia menolak sketisime, skeptisisme menurut beberapa filsuf adalah pandangan bahwa akal tidak mampu sampai pada kesimpulan, atau kalau tidak, akal tidak mampu melampaui hasil-hasil yang paling sederhana.
Empirisme kemudian, dalam filsafat ilmu, menekankan aspek-aspek pengetahuan ilmiah yang terkait erat dengan bukti, terutama seperti yang ditemukan dalam percobaan. Ini adalah bagian mendasar dari metode ilmiah bahwa semua hipotesis dan teori harus diuji terhadap pengamatan dari alam.

2.      Jenis-jenis empirisme
a.       Empirio-kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyektif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.

b.      Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
a)      Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip sistem logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b)      Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data indrawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c)      Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.

c.       Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman indrawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat.[7]


3.      Aliran yang terdapat dalam empirisme
a.       Shopisme
Kaum Shopis menyatakan bahwa untuk memperoleh kelezatan indrawi merupakuan motif bagi perilaku moral, dimana individu menggunakan berbagai sarana yang memungkinkan untuk mencapai tujuan ini, tanpa melihat kebiasaan, unsur-unsur, nilai sosiologis yang berkembang, hukum sosial serta ajaran agama.
Jika perbuatan moral mewujudkan kesenangan indrawi, maka ia baik dan jika mengakibatkan rasa sakit atau bahaya, maka ia buruk. Manusia sendiri dapat mengetahui bahwa kesenangan ini adalah kebaikan yang dicarinya, atau rasa sakit dan marabahaya ini adalah keburukan yang mesti dihindarinya. Hal itu berarti bahwa individu merupakan standar kebaikan dan keburukan, atau stndar keutamaan dan ketercelaan, sebagaimna ia juga menjadi standar pengetahuan. Maka apa yang dikatakannya adalah kebenaran dalam kaitannya dengan dirinya, meskipun ia bertentangan dengan orang lain.

b.      Hedonisme
Madzhab ini menyatakan bahwa kelezatan indrawi merupakan tujuan tertinggi dari setiap perilaku yang kita lakukan. Dalam hal ini, ia sama dengan shopisme yang mengatakan bahwa sensasi merupakan sumber bagi pengetahuan dan kebaikan.

c.       Epicurisme
Eficuros, seorang filsuf yunani yang menyerukan pencarian kesenangan inderawi ini dengan menganggapnya sebagai kebaikan tertinggi bagi setiap perilaku manusia. Oleh karena itu, kesenangan inderawi menjadi standar kebahagiaan.[8]
C.     Titik temu antara Rasionalisme dengan Empirisme
Ilmu yang terdapat dalam pembahasan rasionalis dan empiris ini adalah ilmu yang nyata, karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apapun juga teori yang menjembatani keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan dengan yang tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yakni pertama, harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. Dan kedua, harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsisitennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.  Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.[9]


BAB 3
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melaliu panca indra kita. Dengan demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita peroleh. Tokoh awal mula pendiri gagasan rasionalisme ini yaitu Plato kemudian aliran ini mengalami masa keemasannya melalui generasi penerusnya yang sangat berjasa dalam aliran rasionalisme ini yaitu Rene Descartes.
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Aliran ini menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan. Empirisme ini memiliki tiga jenis pandangan yaitu empirio kritisme, empiris logis dan empiris radikal. Sedangkan empirisme ini juga memiliki beberapa alirannya tersendiri yaitu diantaranya aliran shopisme, hedonisme dan epicurisme. Sementara tokoh-tokohnya yang terkenal diantaranya yaitu John Locke, George Barkeley dan David Humme.
Aliran rasionalisme dan empirisme ini juga dapat disatukan dengan mencari titik temu diantara keduanya. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan dengan yang tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yakni pertama, harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. Dan kedua, harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsisitennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

B.     Saran
Dari pembahasan diatas sekiranya kita dapat memahami dasar kedua aliran tersebut dan titik temu dari kedua aliran tersebut. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang tengah mempelajari makna hakikat tentang dua aliran ini dalam menemukan sebuah ilmu pengetahuan.
Kritik dan saran yang konstruktif sekiranya penulis butuhkan demi terciptanya karya ilmiah yang lebih baik lagi.


       [1] Dr. Adelbeert Sneijder, Seluas Segala Kenyataan, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 2009), h. 46.
       [3] DR. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1982), h. 68
       [4] A. Sony Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 2001), h. 43-46
       [6] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), h. 316


       [7] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, ( Yogyakarta:Tiara Wacana YOGYA, 2007), h. 133
       [8] Fuad Farid Ismail & Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 237-238
       [9] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar  Harapan, 2007), h. 123-124