BAB 1
PENDAHULUAN
Filsafat
di zaman lahirnya ilmu-ilmu baru ini, terbagi menjadi dua aliran yang saling
bertentangan, yaitu rasionalisme. Juga bertentangan dengan empirisme.
Rasionalisme khas untuk filsafat Descartes (1596-1650). Filsafat empirisme
mencapai puncaknya pada era David Hume (1711-1776). Rasionalisme Descartes
tertarik pada metode deduksi matematika. Batu ujian kebenaran adalah rasio
(budi). Metode deduksi bersifat rasional, yaitu bertitik tolak dari axiomata,
melangkah terus dan terlepas dari observasi inderawi, observasi inderawi sering
membuat manusia keliru. Lain halnya dengan empirisme yang tertarik kepada
metode observasi yang langsung terbuka bagi indra. Rasionalisme Descartes dan
empirisme Hume mempengaruhi seluruh filsafat modern.[1]
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang
berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber
kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari
pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang
khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi
(ratio) untuk menemukan kebenaran.
1
|
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Rasionalisme
Zaman
rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad 17 sampai akhir abad 18. Istilah
rasionalisme menandakan semangat zaman itu, akal budi manusia diutamakan. Pada
abad pertengahan pikiran orang berpusat pada Allah, berdasarkan iman yang bagi
mereka merupakan pedoman tertinggi untuk segala kebenaran. Hal ini berlaku juga
bagi para pemikir, mereka juga bertolak dari gambaran yang teosentris tentang
dunia dan hidup. Dalam zaman Renaissance sudah terdapat perubahan. Orang-orang
yang berfikif makin mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai pencipta
kebudayaan, khususnya melalui pengetahuan.
Hal
yang khas bagi ilmu-ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal
budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata penggunaan akal budi secara
demikian tidak sia-sia, melihat tambahan pengetahuan yang besar sekali akibat
perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa
dalam abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar makin percaya akal budi
mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.[3]
Inti
dari pandangan rasionalisme adalah bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu
dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu
pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber
pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah
yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya,
kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui
panca indra kita. Dengan demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada
dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan
pengetahuan yang kita peroleh.
1.
Tokoh
Rasionalisme
a.
Plato
Rasionalisme sesungguhnya telah
muncul dalam pemikiran-pemikiran plato. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan
sejati adalah apa yang disebut sebagai efisteme, yaitu pengetahuan tunggal dan
tak berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Oleh karena itu, apa yang kita
tangkap melalui panca indra hanya merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu
yang abadi. Hanya ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Segala hal
lain hanya tiruan dan karena itu tidak nyata dan tidak sempurna. Dengan kata
lain, manusia mengenal dan mengetahui bayangan itu melalui ide abadi. Maka
pengetahuan bagi plato, adalah hasil ingatan yang melekat pada manusia.
Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah diketahui dalam ide
abadi. Pengetahuan adalah kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia.
Dengan demikian, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu, dan
berarti untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita hanya mengandalkan akal budi
yang sudah mengenal ide abadi.
b.
Rene
Descartes
Descartes menganggap anjuran kaum
skeptis supaya kita perlu meragukan semua keyakinan dan pengetahuan kita,
bahkan kita perlu meragukan apa saja. Bagi Descartes, inilah metode filsafat
yang paling tepat. Sasaran utama dari Descartes adalah bagaimana kita bisa
sampai kepada pengetahuan yang pasti benar. Menurutnya, kita perlu meragukan
segala sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat. Atas dasar ini,
Descartes beranggapan bahwa hanya akal
budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar
untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui.
Sesungguhnya metode Descartes sangat
sederhana. Menurutnya, kita harus meragukan segala sesuatu yang kita tangkap
dengan panca indera kita sampai kita akhirnya tidak bisa lagi meragukan hal
itu. Semua yang diragukan disingkirkan dan terus menerus begitu sampai kita
mengetahui sesuatu secara pasti tanpa bisa diragukan. Itu adalah kebenaran atau
pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, untuk bisa sampai kepada kebenaran
kita perlu meragukan segala hal, termasuk pendapat dan pengalaman kita sendiri.
Ini kita lakukan dengan mengandalkan akal budi dengan berpikir.[4]
B.
Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunani-nya, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman indrawi.[5]
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman
sehingga pengenalan indrawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan
sempurna. Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat
suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam
otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek yang telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Aliran ini
menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan.
Empirisme adalah merupakan paham yang mencoba
memaparkan dan menjelaskan bahwa, sumber pengetahuan manusia itu adalah
pengalaman. Paham ini dikemukakan oleh Francois Bacon ia adalah pelopor faham
empirisme, dan beberapa pakar filsafat lainnya diantaranya John Locke, David Home dan George Barkeley.[6]
1.
Tokoh
empirisme
Seorang
filsuf Inggris yang dilahirkan didekat kota Prestol, Inggris, serta
belajar di Universitas Oxford, serta
mendalami teologi dan filsafat, Pendiri empirisme Inggris salah seorang
penganut empirisme, yang juga Bapak Empirisme mengatakan bahwa pada waktu
manusia dilahirkan, keadaan akalanya masih bersih ibarat kertas yang kosong
yang belum bertuliskan apa pun (tabularasa). Pengetahuan baru muncul ketika
indera manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagaian
kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman
indrawi. Seluruh sisa pengetahuan bisa diketahui dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang
pertama dan sederhana.
Akal
semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan.
Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia -betapa pun rumitnya- dapat
dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah
tersimpanan rapi di dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tergali
oleh daya ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan akal, sehingga hasil
pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat diaktualisasikan.
Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.
b.
George Barkeley (1685-1753)
Pada era
modern, muncul pula George Barkeley yang berpandangan bahwa seluruh gagasan
dalam pikiran atau ide dating dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi
gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu, idea tidak
bersifat independen. Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber
pengetahuan utama bagi manusia, karena penalaran bersifat abstrak dan
membutuhan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap
oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman
indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya
aktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekedar
menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata-mata, melainkan dalam konteks yang
realistik.
c.
David Hume (1711-1776)
Dia
ikut dalam berbagai pembahasan tersebut dan memengaruhi perkembangan dua
aliran. Aliran yang dipengaruhinya adalah skeptisisme dan empirisme. Dalam
hal skeptisisme, Hume mencurigai pemikiran filsafat dan di antara pemikirannya
adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. Ia
juga seorang agnostik, yakni orang yang berpendirian bahwa adanya Tuhan itu
tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diingkari. Dalam hal empirisme, suatu
pandangan yang mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berasal dari pengalaman.
Walaupun mungkin ada suatu dunia di luar kesedaran manusia, namun hal ini tidak
dapat dibuktikan. Ia menolak sketisime, skeptisisme menurut beberapa filsuf
adalah pandangan bahwa akal tidak mampu sampai pada kesimpulan, atau kalau
tidak, akal tidak mampu melampaui hasil-hasil yang paling sederhana.
Empirisme
kemudian, dalam filsafat ilmu, menekankan aspek-aspek pengetahuan ilmiah yang terkait
erat dengan bukti, terutama seperti yang ditemukan dalam percobaan. Ini adalah bagian mendasar dari metode ilmiah bahwa semua hipotesis dan teori harus diuji terhadap pengamatan dari alam.
2.
Jenis-jenis
empirisme
a.
Empirio-kritisisme
Disebut
juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyektif-idealistik.
Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin
“membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas,
dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini
mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau
sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai
kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi,
karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti
metafisik.
b.
Empirisme Logis
Analisis
logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan
ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
a)
Ada batas-batas
bagi Empirisme. Prinsip sistem logika
formal dan prinsip
kesimpulan
induktif tidak dapat
dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b)
Semua proposisi
yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai
data indrawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c)
Pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
c.
Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman indrawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara
demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian
atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan
dalam filsafat.[7]
3.
Aliran
yang terdapat dalam empirisme
a.
Shopisme
Kaum Shopis menyatakan bahwa untuk memperoleh kelezatan
indrawi merupakuan motif bagi perilaku moral, dimana individu menggunakan
berbagai sarana yang memungkinkan untuk mencapai tujuan ini, tanpa melihat
kebiasaan, unsur-unsur, nilai sosiologis yang berkembang, hukum sosial serta
ajaran agama.
Jika perbuatan moral mewujudkan kesenangan indrawi, maka
ia baik dan jika mengakibatkan rasa sakit atau bahaya, maka ia buruk. Manusia
sendiri dapat mengetahui bahwa kesenangan ini adalah kebaikan yang dicarinya,
atau rasa sakit dan marabahaya ini adalah keburukan yang mesti dihindarinya.
Hal itu berarti bahwa individu merupakan standar kebaikan dan keburukan, atau
stndar keutamaan dan ketercelaan, sebagaimna ia juga menjadi standar
pengetahuan. Maka apa yang dikatakannya adalah kebenaran dalam kaitannya dengan
dirinya, meskipun ia bertentangan dengan orang lain.
b.
Hedonisme
Madzhab ini menyatakan bahwa kelezatan indrawi merupakan
tujuan tertinggi dari setiap perilaku yang kita lakukan. Dalam hal ini, ia sama
dengan shopisme yang mengatakan bahwa sensasi merupakan sumber bagi pengetahuan
dan kebaikan.
c.
Epicurisme
Eficuros, seorang filsuf yunani yang menyerukan pencarian
kesenangan inderawi ini dengan menganggapnya sebagai kebaikan tertinggi bagi
setiap perilaku manusia. Oleh karena itu, kesenangan inderawi menjadi standar
kebahagiaan.[8]
C.
Titik
temu antara Rasionalisme dengan Empirisme
Ilmu
yang terdapat dalam pembahasan rasionalis dan empiris ini adalah ilmu yang
nyata, karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari
jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta, Einstein berkata, apapun juga teori yang menjembatani keduanya.
Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat
dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori
ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang
dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus
didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah
pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah
yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara
pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan dengan yang tidak. Secara sederhana maka
hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yakni
pertama, harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan
tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. Dan kedua,
harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun
konsisitennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah.
Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika
induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah
sistem dengan mekanisme korektif.[9]
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Inti
dari pandangan rasionalisme adalah bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu
dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu
pengetahuan yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber
pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah
yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya,
kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melaliu
panca indra kita. Dengan demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada
dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan
pengetahuan yang kita peroleh. Tokoh awal mula pendiri gagasan rasionalisme ini
yaitu Plato kemudian aliran ini mengalami masa keemasannya melalui generasi
penerusnya yang sangat berjasa dalam aliran rasionalisme ini yaitu Rene
Descartes.
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas
dan sempurna. Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat
suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, yang kemudian dipahami di dalam
otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Aliran ini
menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan.
Empirisme ini memiliki tiga jenis pandangan yaitu empirio kritisme, empiris
logis dan empiris radikal. Sedangkan empirisme ini juga memiliki beberapa
alirannya tersendiri yaitu diantaranya aliran shopisme, hedonisme dan
epicurisme. Sementara tokoh-tokohnya yang terkenal diantaranya yaitu John Locke,
George Barkeley dan David Humme.
Aliran rasionalisme dan empirisme ini juga dapat disatukan
dengan mencari titik temu diantara keduanya. Secara
rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan
fakta dan dengan yang tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua
teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yakni pertama, harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya
kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. Dan kedua, harus
cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsisitennya
sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima
kebenarannya secara ilmiah.
B.
Saran
Dari
pembahasan diatas sekiranya kita dapat memahami dasar kedua aliran tersebut dan
titik temu dari kedua aliran tersebut. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua yang tengah mempelajari makna hakikat tentang dua aliran ini
dalam menemukan sebuah ilmu pengetahuan.
Kritik
dan saran yang konstruktif sekiranya penulis butuhkan demi terciptanya karya
ilmiah yang lebih baik lagi.